Rabu, 31 Oktober 2012

Tambang Bangka Ingkari WOC

Kehadiran tambang bijih besi di Pulau Bangka, Minahasa Utara, bakal mengingkari komitmen Indonesia menyelamatkan bumi seperti tertuang dalam Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) hasil World Ocean Conference (WOC) serta komitmen Coral Triangle Initiative (CTI) Summit 2009.

Demikian intisari pandangan  narasumber dalam seminar yang digelar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Senin (22/10), serta dua akademisi masing-masing  Dr  Phalano Daud dan  Denny Karwur yang ditemui Tribun Manado, Selasa (23/10). Rencana tambang biji besi di Pulau Bangka ditolak masyarakat. Ekspresi penolakan, antara lain diwujudkan dengan pemberian 'hadiah' kepala anjing kepada anggota DPRD Sulut, Senin (22/10).

Deklarasi  Manado pada WOC-CTI 2009 menekankan aspek konservasi terhadap ekosistem laut dan pesisir demi kesejahteraan masyarakat. Negara-negara yang terlibat di dalamnya melihat betapa pentingnya laut untuk masa depan bumi dan manusia, termasuk mengurangi ancaman pemananasan global.

Kehadiran tambang bijih besi diyakini akan merusak semangat konservasi karena menciptakan degradasi ekologis di kawasan segitiga karang dunia yang dianggap sebagai Amazon laut dunia. Pada peta yang diluncurkan seusai CTI 2009, Pulau Bangka dan sekitarnya masuk kawasan perlindungan terumbu karang. Selain itu biota-biota di Pulau Bangka merupakan perpaduan antara biota-biota di kawasan Taman Nasional Bunaken dan Pulau Lembeh.

J R Phalano  Daud,  dosen Marine Ecotourism yang juga peneliti bidang kelautan mengatakan, daerah perairan di Pulau Bangka memiliki sedikitnya 10 titik penyelaman yang indah. Perairan pulau Bangka memiliki ekosistem laut yang kompleks. "Ada mangrovenya, ada padang lamun, dan nelayan memanfaatkan semua potensi di daerah itu," kata Phalano.

Ditambahkannya, sedikitnya ada sembilan dive operator di Pulau Bangka yang membantu perekonomian masyarakat. Ketika ada penambangan, akan berdampak pada perekonomian masyarakat. "Ini bisa mematikan perekonomian dari masyarakat yang bergantung dari laut," tuturnya.

Sewaktu pelaksanaan WOC-CTI Summit tahun 2009, kata Phalano, kawasan Bunaken, Talise, Lembeh, Gangga, Bangka diusulkan  menjadi world heritage (warisan dunia). Selain itu, dalam peta pengelolaan, pulau Bangka dan sekitarnya masuk kawasan strategi nasional. "Artinya kawasan ini tak bisa diutak-atik untuk pertambangan," tandasnya.

Phalano sangat mengkhawatirkan aktivitas penambangan di Pulau Bangka ini. Bukan tanpa alasan, kata dia, dampak yang paling ditakutkan adalah sedimentasi yang bisa merusak terumbu karang termasuk di Bunaken. Dampak lainnya,  menurunkan produktivitas hayati biota, menghasilkan sedimen partikel bahan anorganik terlarut  yang bisa jadi gas beracun dalam air, penurunan kualitas air laut serta intrusi air laut ke darat. Tak hanya itu, kata Phalano, aktivitas pertambangan yang menggunakan logam berat pasti menyebabkan bioakumulasi di atas ambang batas. "Aktivitas petambangan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan yang nanti  merambat ke kawasan lain seperti Bunaken bahkan bisa merusak terumbu karang sampai ke Sitaro dan Sangihe, " ujarya.

Dosen Hukum Pesisir Denny Karwur mengatakan, perairan pulau Bangka merupakan kawasan migratorisi, dimana lalu lintas ikan-ikan dari utara ke selatan. Jika terjadi pencemaran,  tidak tertutup kemungkinan FAO akan turun tangan . "Sekali lagi saya ingatkan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah harus hati- hati," tuturnya.

Karwur mengatakan, aktivitas pertambangan di Pulau Bangka jelas mengingkari Deklarasi Kelautan Manado pada WOC dan CTI Summit 2009.  Menurutnya, Indonesia sebagai satu di antara negara pemilik terumbu karang, sudah sepakat menjaga kelestariannya. "Pemerintah sudah menginvestasikan dana untuk melindungi semua terumbu karang. Bahkan ada sebagian dana berupa block grant. Saya dengar di Pulau Bangka akan dibangun pabrik, kita harus telusuri itu. Siapa yang ada di belakang pembangunan pabrik baja di sana," katanya.

Dia menyarankan Pemerintah Provinsi Sulut dan pemerintah Kabupaten Minahasa Utara melakukan kajian lebih mendalam lagi. Diakuinya, pasir besi memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, tapi bagaimana dengan pemulihan lingkungan? "Memang pariwisata kecil kontribusinya ke kas daerah jika dibandingkan pertambangan. Pemerintah jangan cepat ambil keputusan, apakah ada jaminan pemulihan ekosistem seperti semula. Jangan hanya memikirkan pundi-pundi yang masuk tapi mengabaikan lingkungan," tandasnya.