Komuntias Pers Liputan Pemprov
Sulut (KPLPS) yang merupakan komunitas bagi semua insan pers yang meliput di
kantor gubernur Sulawesi Utara berniat untuk membantu satu di antara anggota
komunitas yang mencalonkan diri untuk menjadi Hukum Tua (lurah) di desanya.
Berbagai hal mulai dilakukan
mulai dari penggalangan dana hingga hal-hal yang sekiranya dapat memenangkan
teman kami yang maju dalam pemilihan ini. Setelah melakukan rapat beberapa
kali, akhirnya diputuskan bahwa KPLPS akan membawa bantuan berupa natura ke
desa tersebut.
Di grup BlackBerry Messenger,
sudah diberitahukan bahwa Sabtu (17/11) akan menuju Desa Moreah. Begitu mendengar
nama desa tersebut, spontan langsung aku mencari tahu tentang desa ini di mesin
pencari Google. Ternyata di mesin pencari nomor satu ini mengeluarkan hasil
bahwa Morea itu adanya di Ambon. Anehnya lagi ternyata Morea itu artinya belut
raksasa.
Karena tidak menemukan Moreah
di Google, saya mencoba mencari lewat Google Maps. Berpikir pasti ada daerah
ini. Ya dugaanku memang benar. Google menemukan
Morea masih masuk Sulawesi Utara, tapi persisnya di mana tidak jelas. Terus
mencari dan mencari, tapi tidak juga menemukannya. Gosh...di mana sebenarnya
Morea ini....
Sesuai kesepakatan, semua
anggota KPLPS yangn akan ikut dalam aksi ini berkumpul di Kantor Gubernur pukul
08.00 WITA. Mengapa lebih awal, karena perjalanan ini ternyata sangat panjang.
Seorang teman sudah memposting foto kendaraan yang akan kita gunakan untuk
pergi ke Morea. Naluri petualangan semakin bertambah ketika melihat satu
Hardtop tahun 95 yang sudah dimodivikasi menggunakan ban berukuran 33 (gak
ngerti soal otomotif hehehehehe), kemudian ada juga Jeep yang tak kalah vintage
tapi performanya bisa diadu dengan mobil keluaran sekarang. Belum lagi ditambah
Nissan Terano, Fortuner, dan Escudo....
Perjalanan pun dimulai.
Rombongan KPLPS dan Elang Nusantara bergerak dari kantor Gubernur Sulut. Rute
yang dipilih adalah melewati Tomohon ke Langowann terus ke Ratahan dan menuju
Moreah. Untuk ke Moreah, menurut temanku yang biro di Minahasa Tenggara, ada
dua jalur yang bisa kita lewati. Jalur yang pertama yakni dari Ratahan kemudian
ke Ratatotok baru ke Moreah. Namun menurutnya, jalur yang ditempuh itu cukup
jauh. Selain itu, jalan menuju Moreah jika lewat jalur itu tidak bagus. Jalur
yang kedua, menurutnya adalah lewat daerah Tombatu dengan waktu tempuh yang
lebih singkat dan jalannya juga lebih bagus.
Rombongan pun ternyata lebih
memilih jalur pertama. Jalan hotmix dari pusat Ratahan hingga menuju Ratatotok
membuatku berpikir kalau apa yang disampaikan temanku itu tidak sepenuhnya
benar. Ternyata oh ternyata apa yang aku pikir itu salah. Begitu tiba di
pertigaan ada papan penunjuk jalan yang menjelaskan kalau lurus kita akan
menuju daerah Buyat, sedangkan ke Moreah itu harus belok kanan.
Benar saja kata temanku.
Begitu melihat jalannya¸dalam hati berkata wow ini kampung pasti belum pernah dikunjungi pemerintah. Jalan
menuju Moreah belum diaspal, masih berupa tanah liat dan ada seperti
kerikil-kerikil. Sedikit terhibur ketika melihat ada papan proyek yang
menjelaskan bahwa ini merupakan proyek pengaspalan. Ya rupanya mereka sedang
melakukan pengerasan badan jalan. Namun sepanjang perjalanan ternyata jalannya
sama saja seperti itu. Jalan sempit, ada
kubangan becek, kerikil...kondisi ini menantang para driver untuk bisa
mengendarai mobil yang kami tumpangi dengan hati-hati dan konsentrasi yang
tinggi.
Finaly kami tiba di
Moreah...daerah yang kaya akan mineral ini memang jauh dari sentuhan
pemerintah. Sebagian besar rumahnya berupa rumah panggung atau rumah adat
Minahasa. Klasik, unik, dan luar biasa. Ada
juga beberapa rumah permanen yang dibangun. Konon katanya, mereka yang punya
rumah permanen dan besar adalah pemilik tambang lebih dari satu.
Begitu tiba di rumah temanku
yang mencalonkan diri menjadi Hukumtua atau lurah, kami disambut oleh warga
yang merupakan pendukungnya. Ramah dan masih bersifat kekeluargaan. Itu yang
bisa aku simpulkan ketika melihat pendukung temanku ini. Oh iya, dari tiga
orang calon Hukumtua yang akan maju dalam pemilihan nanti, hanya temanku ini
yang bukan orang berada alias memiliki ekonomi di bawah dua calon lainnya.
Buktinya, ketika calon-calon lain menghabiskan uang mereka untuk mengumpulkan
massa, di rumah temanku, malah pendukungnya datang dengan sukarela bahkan
mereka sendiri yang membawa natura untuk dimasak bersama.
Semakin sore hawa dingin
Moreah begitu terasa. Kami pun memilih untuk segera meninggalkan desa ini
karena perjalanan yang akan kami tempuh jauh. Oleh masyarakat, kami diminta
untuk mengambil rute Tombatu. “Lewat Tombatu saja, jalannya jauh lebih bagus
daripada lewat Ratatotok,” ucap seorang bapak. Ya, dan kami pun setuju untuk mengambil
rute tersebut. Dalam hati berkata, pasti jalannya sudah dihotmix atau minimal
sudah diaspak meski kasar.
Tiba di penghujung kampung
Moreah, aku pun berdecak kagum melihat jalan yang sudah hotmix. “Mulus banget,
pantasan saja kami disuruh memilih jalur ini,” gumanku dalam hati. Namun
kekagumanku terhadap jalan mulus tersebut langsung sirna. Ternyata jalan mulus
itu panjangnya hanya kira-kira 100 meter, selebihnya jalannya masih dalam tahap
pengerasan. At least memang lebih bagus dari jalan ketika kami datang.
Meski lebih bagus, namun bukan
berarti konsentrasi harus turun dong. Karena jurang ada di kiri da kanan jalan.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba di sebuah kampung. Hmm
kami harus menunggu karena ternyata dua mobil yang ikut dalam rombongan tidak
kelihatan. Sudah hampir sejam kami menunggu, datang seorang bapak yang
mengatakan, satu di antara “nyonya tua”
yang ikut mengalami kerusakan. Akhirnya satu mobil berisi teknisi diutus untuk
melihat kondisi kerusakan mobil tersebut. Lama juga kami menunggu.
Dingin malam semakin menusuk. Rasa
tidak nyaman mulai terasa, apalagi kampung tersebut tidak ada signal telepon.
Sebagai orang yang agak freak sama internet, aku mulai “galau” . Dalam hati
mengomel mempertanyakan mengapa sekarang sudah zaman teknologi dan informasi
kok masih ada kampung yang tidak terjangkau signal telepon. Rasa tidak nyaman
makin bertambah ketika satu per satu masyarakat bergantian datang menanyakan
tentang keberadaan kami.
Wajar saja mereka begitu,
karena tak lama lagi akan ada pemilihan umum kepala daerah di Minahasa
Tenggara. Mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah rombongan dari satu bakal
calon yang akan maju di pemilukada nanti. Atau mungkin juga mereka berpikir
kalau kami adalah rombongan teroris. Who knows. Tapi sambutan mereka hangat
ketika kami mulai menjelaskan alasan menunggu lebih dari dua jam di kampung
itu.
Beberapa teman pria dan Pak
Pembina KPLPS diajak untuk meminum cap tikus. Kata si bapak yang mengajak, ini
untuk menghangatkan badan saja. Gayung bersambut. Sambil menunggu teman-teman
yang lain, mereka pun terus minum bahkan sampai rombongan mobil yang tadinya
rusak datang mereka masih juga minum.
Kami pun akhirnya meninggalkan
kampung itu dan melanjutkan perjalanan menuju Pinapalangkow. Kampung yang
lumayan juga sih jauhnya. Di sana kami makan banyak durian. Setelah itu barulah
pulang ke Manado.
Saking lelahnya, beberapa dari
kami memilih tidur selama perjalanan. Tepat pukul 01.00 Wita tiba di Manado...Hufth...akhirnyaaa
perjalanan yang menyenangkan.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar