Selasa, 06 Agustus 2013

Berdoa Semoga Peroleh Status Pengungsi


Imigran gelap asal Myanmar saat buka puasa
foto by :Rizky Adriansyah
Ramadan menjadi bulan paling istimewa bagi umat muslim. Tak terkecuali bagi pari imigran yang berada di Rumah Detensi Imigrasi Manado. Mereka sejak hari pertama ramadan begitu khusuk menjalankan rukun Islam ini meski berada di balik tembok tinggi serta pengawalan dari pihak imigrasi.

Menunggu bedug adzan Maghrib, para imigran ini pun melakukan aktifitas seperti biasa. Ada yang memasak, ada yang hanya mengobrol, tapi ada juga yang melakukan pengajian. Bagi para imigran asal Myanmar, mereka biasanya melakukan pengajian sekitar pukul 16.00-18.00 Wita atau hingga saatnya buka puasa sedangkan untuk imigran asal Afganistan biasanya mengaji mulai pukul 23.00- 02 dini hari atau menjelang sahur. "Sudah ada empat orang yang khatam quran," kata Ustadz Mohamad Arif, imigran asal Myanmar.

Saat buka puasa, mereka berkumpul di masing-masing ruangan berdasarkan negara mereka.Di  ruangan milik satu kelompok imigran asal Myanmar, mereka duduk bersila mengelilingi masakan yang sudah dimasak oleh mereka sendiri. Sore itu, Senin (5/8) menu di ruangan ini berupa nasi yang dimasak dengan bumbu khas Myanmar, kurma, buah-buahan, dan juice. Rasa nasi tersebut mirip seperti nasi kuning di Indonesia. "Bumbu masakan di Myanmar dan Indonesia memang ada sedikit kemiripan," kata Syaifula, imigran asal etnis Rohingya.

Setelah buka puasa bersama, para imigran ini langsung bersia-siap untuk mengikuti salat berjemaah di musala yang sudah disiapkan oleh pihak rudenim. Di pimpin seorang ustadz mereka pun melaksanakan salat. "Kami selalu berdoa agar kami segera mendapatkan status pengungsi (refugee) dari UNHCR ," ujar Syaifula.

Bagi para imigran gelap yang berada di rudenim ini, mereka merasa lebih nyaman berada di tempat itu jika dibandingkan ketika mereka berada di negara asal mereka. Mereka mengakut tak perlu lagi dihantui rasa takut seperti ketika mereka masih berada di negaranya yang masih terjadi konflik. "Memang tidak senyaman berada di luar (rudenim) tapi setidaknya di sini kami masih bisa melakukan aktifitas seperti membaca Alquran dan salat berjamaah," tuturnya.

Syaifula yang sudah mahir berbahasa Indonesia ini, menjadi penerjemah bagi sesama deteni asal Myanmar. Pemuda 22 tahun yang sudah 1 tahun 3 bulan berada di rudenim Manado ini mengatakan, dirinya dan teman-teman sesama imigran merasa sedih jika harus mengingat saudara-saudara yang masih ada di negara mereka. "Terpisah jauh dari mereka, beda negara dan tak tahu kondisi mereka di sana seperti apa," tuturnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Gholam Reza, imigran asal Afganistan. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata ia mengaku sangat kangen dengan anak laki-lakinya yang masih berada di Afganistan. "Inginnya mereka juga ikut sama-sama, tapi beresiko juga," tuturnya,

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Rudenim Manado Mohamad Suma mengatakan, selama bulan ramadan pihaknya tetap melakukan pengawasan dan pengawalan sesuai dengan standar operasi pelayanan. "Hanya beberapa orang yang kita beri sedikit kelonggaran karena mereka harus memasak makanan bagi deteni lainnya," tandasnya.(aro/riz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar